Disusun oleh : Ustadz Abu Minhal, Lc.
Di antara perkara yang dahulu dipegangi oleh generasi Sahabat Nabi ﷺ dalam ketaatan dan kepatuhan mereka untuk mengikuti Nabi ﷺ dan mereka jadikan sebagai pedoman bagi mereka dalam kesungguhan mereka untuk mengikuti Nabi ﷺ adalah sikap mereka untuk melawan tiga hal yang amat berbahaya, yaitu bid’ah, taqlid dan pendapat akal semata.
Generasi Sahabat memandang tiga hal itu sebagai penyakit berbahaya, bila menyebar dan mewabah di tengah umat, lantaran hal-hal tersebut dapat menggerus aqidah mereka dan komitmen mereka untuk mengikuti petunjuk Sunnah.
Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata:
مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا وَالنَّاسُ يُحْيُوْنَ فِيْهِ بِدْعَةً وَيُمِيْتُوْنَ فِيْهِ سُنَّةً حَتَّى تَحْيَا البِدَعُ وَتَمُوْتَ السُّنَنُ
“Tidak ada satu tahun lewat kecuali manusia menghidupkan bid’ah dan mematikan sunnah padanya, sehingga bid’ah-bid’ah menjadi hidup dan petunjuk-petunjuk Sunnah lenyap”.1
Dari Jabir bin Zaid bahwa Ibnu Umar رضي الله عنه menjumpainya saat thawaf, lalu berkata:
يَا اَبَا الشَّعْثَاءِ إِنَّكَ مِنْ فُقَهَاءِ البَصْرَةِ فَلَا تُفْتِ إِلَّا بِقُرآنٍ نَاطِقٍ أَوْ سُنَّةٍ مَاضِيَةٍ فَإِنَّكَ إِنْ فَعَلْتَ غَيْرَ ذَلِكَ هَلَكْتَ وَأَهْلَكْتَ
“Wahai Aba Sya’tsa. Sesungguhnya engkau termasuk ahli fiqih kota Basrah, maka janganlah sekali-kali engkau berfatwa kecuali dengan dasar petunjuk AlQur`an yang berbicara dan petunjuk Sunnah yang sudah ada. Jika engkau melakukan selain itu, engkau akan binasa dan membinasakan orang lain”.2
Dari Ibnu Mas’ud , ia berkata:
لَا يُقَلِّدَنَّ أَحَدُكُمْ دِيْنَهُ رَجُلًا، إِنْ آمَنَ آمَنَ وَإِنْ كَفَرَ كَفَرَ فَإِنَّهُ لَا أُسَوْةَ فِيْ الشَّرِّ
“Janganlah seseorang menjalankan agamanya dengan bertaqlid kepada seseorang. Bila ia beriman, niscaya akan ikut beriman. Bila ia kufur, niscaya ia akan ikut kufur. Sesungguhnya tidak boleh meniru dalam keburukan”. 3
Tiga pernyataan dari tiga Sahabat Rasûlullâh ﷺ mendeskripsikan betapa besar bahaya tiga perkara tersebut terhadap umat Islam, sebagaimana juga sekaligus menggambarkan alangkah tinggi semangat mereka untuk mengingatkan umat dari bahaya dan dampak buruknya yang berpotensi mengancam aqidah mereka dan komitmen mereka untuk mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi ﷺ .
MEREKA MEMERANGI BID’AH
Perkara yang paling berbahaya dari tiga hal itu bagi umat adalah bid’ah. Nabi ﷺ telah memperingatkan umat dari perbuatan bid’ah dalam agama. Nabi ﷺ bersabda:
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Muslim )
Beliau ﷺ juga bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Muslim)
Nabi ﷺ juga telah menjelaskan hukum bid’ah dalam haditsnya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasar landasannya dari kami, maka tertolak. (HR. Muslim)
Mari kita renungi kandungan-kandungan yang ada dalam hadits-hadits di atas. Dalam hadits pertama dan kedua, Nabi ﷺ menilai bid’ah sebagai kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Nabi ﷺ bagi umat Islam dan Allâh سبحانه وتعالى telah mewajibkan kita untuk mengikutinya.
Bid’ah dalam agama merupakan jalan menyimpang dan sesat, sehingga harus diwaspadai dan dijauhi. Selain itu, bid’ah merupakan bentuk mukhalafah (penentangan) terhadap petunjuk Nabi ﷺ dan perlawanan terhadap petunjuk dan cahaya yang Beliau ﷺ bawa. Sebab, saat terjerumus dalam bid’ah, akan berdampak keburukan-keburukan yang banyak, seperti menuduh agama ini tidak sempurna, ada sekian banyak perkara yang mesti ditambahkan kepadanya. Sebab, sekiranya ia meyakini kesempurnaan Islam dari segala aspek, niscaya ia tidak melakukan bid’ah dan tidak ingin menambahi sesuatu kepadanya.
Ditambah lagi, orang yang melakukan bid’ah telah menentang syariat. Karena, syariat telah menentukan cara-cara khusus untuk beribadah kepada Rabbnya dan membatasi manusia dengannya itu melalui perintah, larangan, ancaman dan janji. Juga sudah mengabarkan bahwa kebaikan ada padanya dan keburukan muncul saat melanggarnya.
Sedangkan hari ahli bid’ah memandang masih ada jalan-jalan lain yang tidak dibatasi oleh syariat untuk beribadah kepada Allâh سبحانه وتعالى .Bahkan mungkin saja ia memahami dengan menambahi cara-cara yang tidak disyariatkan itu bahwa ia mengetahui sesuatu kebaikan yang tidak diketahui oleh penetap syariat. Ini sebenarnya merupakan kesesatan nyata, di mana Nabi ﷺ telah menyebut bid’ah dengan bersabda: “Dan setiap bid’ah itu sesat”.
Pada gilirannya, bid’ah itu dengan perjalanan waktu dan tersebarnya di mana-mana akan dianggap sunnah yang mesti dikerjakan oleh umat, terutama oleh orang-orang awam, yang terbiasa melakukan taqlid dan mengambil apa saja yang berkembang di tengah manusia.
Sementara hadits ketiga, menjadi hukum jelas atas setiap orang yang mengadakan perkara baru dalam agama, padahal tidak ada dasar jelas dalam agama Allâh dan syariat-Nya, dengan dihukumi tertolak dan tidak diterima. Tidak diragukan lagi, ini bentuk penolakan setiap orang yang berbuat bid’ah di dalam agama Allâh dan syariat-Nya.
Para Sahabat Nabi ﷺ telah menjadikan hadits-hadits Nabi ﷺ sebagai pedoman dalam masalah ini dan mereka berjalan di atasnya untuk menjaga Sunnah Beliau ﷺ dari bid’ah-bid’ah dan keburukan-keburukannya.
Ada banyak pernyataan dari mereka dalam masalah ini secara khusus yang menunjukkan betapa semangat mereka mempraktekkan petunjuk-petunjuk yang mereka terima langsung dari Nabi ﷺ .
Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata, “Ikutlah jejak-jejak kami, janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguhkalian sudah dicukupi”.4
Ibnu Umar رضي الله عنه pernah mengatakan,“Setiap bid’ah adalah sesat walaupun dipandang baik oleh orang-orang.” 5
Ini sebagian kecil dari pernyataan dari generasi Sahabat yang berisi seruan untuk meninggalkan bid’ah dalam agama dan peringatan darinya.
MEREKA MEMERANGI TAQLID
Perkara kedua yang menimbulkan bahaya terhadap Sunnah Nabi ﷺ dan upaya untuk mengikutinya dalam pandangan generasi Salaf adalah taqlid buta. Ada perbedaan antara ittiba’ dan taqlid.
Ittiba’ adalah mengikuti sesuatu yang berlandaskan hujjah. Sementara taqlid maknanya berpegangan dengan suatu pendapat yang tidak ada hujjah bagi orang yang menyatakannya.
Maka, siapa saja yang mengikuti suatu pendapat tanpa ada kewajiban atas dirinya untuk menerimanya berdasarkan dalil yang mengharuskan engkau mengikutinya, maka ia telah bertaqlid kepadanya. Sedangkan bila ada dalil yang mengharuskanmu mengikutinya, artinya ia ittiba’ kepadanya.
Ittiba’ dalam agama boleh, sementara taqlid buta tidak boleh.
Taqlid yang dilarang ada tiga macam:
- Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allâh سبحانه وتعالى dan tidak menoleh kepadanya, dengan merasa cukup dengan bertaqlid kepada para orang tua dan guru-guru.
- Bertaqlid kepada orang yang tidak pantas diambil pendapatnya.
- Bertaqlid setelah hujjah tegak dan dalil tampak jelas tidak sejalan dengan pendapat orang yang bertaqlid.
Generasi Salaf telah memerangi jenis taqlid ini dan mencelanya dan menilainya sebagai bentuk keterpelesatan yang berbahaya yang akanmenyimpangkan seorang Muslim dari sumber yang murni untuk agamanya, yang akan mengakibatkan dirinya terancam oleh setiap bid’ah.
Allâh سبحانه وتعالى telah mengisahkan tentang Bani Israil yang meminta kepada Musa g untuk dibuatkan sesembahan dari berhala-berhala dengan bertaqlid kepada orang-orang yang mereka lewati. Allâh سبحانه وتعالى berfi rman:
﴿ وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ ﴾
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu Ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat sifat Tuhan)”. (QS. Al-A’raf/7:138)
Sebagaimana Allâh سبحانه وتعالى mencela perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap tokoh tokoh agama mereka, di mana mereka bertaqlid kepada tokoh-tokoh agama itu dalam semua yang mereka ucapkan, sehingga menghalalkan apa yang mereka halalkan dan mengharamkan apa yang mereka haramkan.
Allâh سبحانه وتعالى berfi rman:
﴿ اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ﴾
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan.(QS. At-Taubah/9:31)
Dari Ibnu Mas’ud , ia berkata:
لَا يُقَلِّدَنَّ أَحَدُكُمْ دِيْنَهُ رَجُلًا إِنْ آمَنَ آمَنَ وَإِنْ كَفَرَ كَفَرَ فَإِنَّهُ لَا أُسْوَةَ فِيْ الشَّرِّ
“Janganlah seseorang menjalankan agamanya dengan bertaqlid kepada seseorang. Bila ia beriman, niscaya akan ikut beriman. Bila ia kufur, niscaya ia akan ikut kufur. Sesungguhnya tidak boleh meniru dalam keburukan”. 6
Ibnu Abbas berkata, “Celakah para pengikut akibat ketergelinciran orang alim”. Kemudian ada yang berkata, Wahai Abul Abbas, bagaimana itu terjadi?”. Ia berkata, “Seorang alim berpendapat dengan pikiranya saja, lalu ia mendengar hadits dari Nabi ﷺ , ia meninggalkan pendapat itu, sementara para pengikut masih mengikuti apa yang ia sampaikan sebelumnya”.
Di sini perlu dibedakan antara memurnikan sikap ittiba (mengikuti) Nabi yang ma’shum dengan mengabaikan pendapat Ulama dan mengesampingkannya. Maksud memurnikan ittiba kepada Nabi ﷺ adalah seseorang tidak mengutamakan pendapat siapapun di atas petunjuk dari Nabi ﷺ . Namun, ia melihat keshahihan hadits itu pertama-tama, jika merupakan hadits shahih, ia melihat maknanya. Setelah jelas, ia tidak berpaling dari itu, walaupun semua orang di Timur dan Barat tidak sejalan denganmu.
Sikap ini disertai dengan penghormatan terhadap Ulama dan keyakinan bahwa mereka orang-orang yang terhormat, amanah dan telah bersungguh-sungguh dalam menjaga agama dan memeliharanya. Mereka berada antara satu pahala atau dua pahala dan ampunan Allâh سبحانه وتعالى .
Namun demikian, sikap penghormatan ini tidak mengharuskan umat untuk mengabaikan nash nash syar’i dan mendahulukan pendapat seseorang di atasnya, dengan syubhat bahwa ia lebih berilmudaripada kita.
Inilah perbedaan antara orang yang bertaqlid kepada seorang alim dengan orang yang menjadikan mereka sebagai wasilah untuk memahami agama.
MEREKA MEMERANGI RA`YU (PENDAPAT AKAL SEMATA)
Perkara ketiga yang menurut pandangan generasi Salaf bertentangan dengan semangat ittiba’ dan melanggarnya adalah ra`yu.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Aash رضي الله عنه , ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabada:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ العِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطاكُمُوْهُ اِنْتِزَاعًا، وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ العُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ، فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ، يَسْتَفْتُوْنَ فَيُفْتُوْنَ بِرَأْيِهِمْ، فَيُضِلُّوْنَ وَيَضِلُّوْنَ.
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung setelah Allah memberikannya kepada kalian. Akan tetapi, Dia mencabutnya dari mereka dengan mewafatkan Ulama bersama ilmu mereka, sehingga tersisalah orang-orang bodoh yang akan dimintai fatwa-fatwa, lalu mereka pun mengeluarkan fatwa dengan dasar ra`yu mereka, lalu mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Al-Bukhari no.7307)
Yang dimaksud di sini adalah ra`yu batil yang sama sekali tidak bersumber dari agama sama sekali.
Ra`yu batil mencakup beberapa macam:
Pertama: Ra`yu (pendapat) yang bertentangan dengan nash. Ini sesuatu yang tampak jelas kerusakan dan kebatilannya dengan jelas dalam Islam. Tidak boleh berfatwa dan memutuskan hukum dengan dasar ini.
Kedua: Bicara tentang agama dengan dasar rekaan dan persangkaan, yang disertai dengankecilnya atensi untuk mengetahui nash-nash, memahami dan mengambil istimbath hukum darinya. Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengetahuinya, lalu ia menilainya dengan ra`yunya dalam perkara yang ditanyakan kepadanya tanpa dasar ilmu. Bahkan ia menilainya dengan dasar adanya aspek yang menyatukan antara dua hal, lalu ia hukuminya perkara lain dengan dasar itu, atau hanya menilainya melalui adanya perbedaan yang ia pandang antara keduanya dalam tanpa melihat kepada nash-nash dan atsar-atsar, sungguh orang itu telah terjerumus dalam ra`yu yang tercela dan batil.
Ketiga: Ra`yu yang menyebabkan penolakan terhadap nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan perbuatan-Nya dengan qiyas yang batil yang digariskan oleh ahli bid`ah yang sesat seperti golongan Jahmiyah, Mu’tazilah, Qadariyah dan golongan lain yang serupa dengan mereka. Mereka gunakan qiyas-qiyas mereka yang rusak, ra`yu-ra`yu mereka yang batil serta syubhat-syubhat mereka yang lemah untuk menolak nash-nash shahih yang jelas. Karena itu, mereka tolak teks-teks nash-nash yang mereka dapatkan jalan untuk mendustakan perawinya atau menyalahkannya, atau menolak makna-makna nash-nash itu jika mereka tidak mampu menolak lafazh-lafazh dalil-dalil itu.
Nash-nash yang pertama mereka sikapi dengan pendustaan, sementara nash-nash jenis kedua mereka sikapi dengan takwil dan tahrif.
Maka, mereka mengingkari orang-orang Mukminin akan melihat Rabb mereka di akhirat, kalam-Nya, komunikasi Allâh dengan hamba hamba-Nya. Mereka mengingkari adanya perbedaan antara Allâh dan makhluk-makhluk-Nya, sifat istiwa-Nya di atas Arsy dan sifat ketinggian Nya di atas semua makhluk.
Bahkan mereka juga mengeluarkan perbuatan perbuatan makhluk-makhluk, seperti malaikat, nabi, jin dan manusia dari sifat qudrah dan kehendak Nya serta penciptaan-Nya terhadap perbuatan perbuatan mereka.
Dengan dasar itu, mereka juga menafi kan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allâhtentang Dzat-Nya atau disampaikan Rasul-Nya ﷺ tentang sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan. Mereka mentahrif nash-nash dari tempatnya yang patut dan mengeluarkannya dari makna-makna dan hakikat-hakikatnya dengan ra`yu murni yang hakikatnya hanyalah pikiran sampah dan nalar yang kotor dan bisikan-bisikan belaka. Akibatnya, mereka memenuhi buku-buku dengan itu, hati-hati dengan keragu-raguan dan alam semesta dengan kerusakan.
Setiap orang yang masih mempunyai akal sehat akan tahu bahwa kerusakan di bumi ini hanyalah timbul dari mendahulukan ra`yu di atas wahyu dan hawa nafsu di atas akal. Tidaklah dua landasan ini kuat pada diri seseorang kecuali akan kuat pula kebinasaan orang tersebut, dan bila menguat pada suatu masyarakat, maka rusaklah masyarakat itu dengan kerusakan nyata.
Keempat: Ra`yu yang menimbulkan bid’ah-bid’ah, merubah sunnah, sehingga bid’ah menyebar dengan luas, dan orang-orang pun terdidik di atas bid’ah-bid’ah tersebut dari kecil sampai tua.
Inilah empat jenis perkara yang timbul dari ra`yu yang disepakati Ulama Salaf dan para imam umat untuk mencelanya dan mengeluarkannya dari agama.
Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه mengatakan, “Sekiranya agama itu atas dasar ra`yu, maka bagian bawah sepatu lebih patut untuk diusap daripada bagian atasnya”. 7
Ibnu Syihab berkata, “Biarkanlah Sunnah yang berlaku. Janganlah kalian timbang sunnah dengan ra`yu”. 8
Umar bin Abdul Aziz t pernah menulis ketetapan kepada manusia, yang berbunyi, “Sesungguhnya tidak ada ra`yu yang diterima bagi siapapun di hadapan Sunnah yang telah digariskan oleh Rasûlullâh ﷺ “. 9
Huqûqun Nabi ‘Ala Ummatihi fî Dhaul Kitâbi was Sunnah, Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi Adwaus Salaf Cet. I, Thn. 1418, 1/229-244.
Footnote:
1 Al-Bida’u wan Nahyu ‘anha hlm. 39.
2 Diriwayatkan oleh Ad-Dârimi 1/59.
3 I’lamul Muwaqqi’în 2/195.
4 Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’u wan Nahyu ‘Anha hlm. 10
5 Diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam As-Sunnah no226.
6 I’lamul Muwaqqi’în 2/195.
7 HR. Abu Dawud no.162.
8 I’lamul Muwaqqi’în 1/73.
9 ’lamul Muwaqqi’în 1/74.
Majalah As-Sunnah
EDISI 11/TAHUN. XXII/RAJAB 1440H/MARET 2019M